Opini: Keterbatasan Uang, Persaingan dan Ketidakpastian Hidup

oleh -850 Dilihat
Penulis Tryas Munarsyah Aslianakmuna Sekjen Pemuda Peduli Indonesia (Foto Ist)

MUNA- Keterbatasan uang, memaksa kita berada dalam pusaran Persaingan dan Ketidakpastian Hidup . Dimana hal ini tidak ada dalam ajaran agama, kepercayaan dan prinsip kemanusiaan manapun. So, apakah ini benar ajaran Ketuhanan? Atau ada mahluk/orang yg mensabotase keadaan ini? Think_

Uang kini menjadi benda yg sangat vital dalam kehidupan. Tanpa uang umumnya hidup manusia terkotang-kating tanpa arah. Dia (uang) telah menjadi latta-uzza baru yg secara tidak langsung dan tanpa sadar menjadi sesembahan utama dalam keseharian manusia. Dia mampu mengalahkan Tuhan yg sering kita puji serta ibadahi dalam ragam nama dan wujud peribadatannya. Bahkan kita yg berada di masa modern saat ini, diakui atau tidak diakui kita lahir dan dibesarkan dari sistem uang yg telah mendarah daging dalam tubuh.

Fakta hari ini kondisi uang yg kita telah nikmati berada pada status ribawi apapun pekerjaan yg kita tekuni. Dan kita boleh berbeda soal pandangan ini. Akibatnya uang yg dikelola dengan sistem ini membuatnya menjadi sangat terbatas (defisit). Keterbatasan uang berefek domino lahirnya Persaingan dan Ketidakpastian Hidup.

Persaingan memaksa manusia menjadi Homo Homini Lupus, yakni manusia yg menjadi serigala bagi manusia lainnya. Dalam artian ketika ada uang yg kita dapat berlebih pada ketersediaan yg terbatas itu maka otomatis ada orang lain yang tidak memerolehnya. Kondisi ini yang biasanya dialami pada persoalan bisnis. Berbisnis mulai dari nol. Perjuangan yang dilakukan tentu cukup berat dalam hal ini. Sehingga baik dan bertahan atau tidaknya bisnis yang dilakukan tergantung kegigihan masing-masing orang yang melakukannya. Jika dia mampu bersaing dengan sehat, meski diksi persaingan sehat ini terasa geli ditelinga saya, maka dia mampu membuat bisnis tersebut berjalan hingga stabil. Keunikan produk, harga produk dan marketing dalam pembesaran bisnis yang ditekuni menjadi sedikit kunci untuk dapat menggaet pelanggan agar bisnis yang ditawarkan laku.

Namun bagaimana untuk nasib mereka yang tidak dapat melakukan hal itu? Atau dapat turut serta dalam jalan  tersebut namun pada realitanya tetap kalah saing pada si raja bisnis misalnya? Otomatis keuntungan dan pemasukan dapat menjadi menurun. Dan bagi  bisnis yang memiliki karyawan,  kemungkinan upahnya akan menjadi berkurang atau bahkan ada pemutusan ikatan kerja terhadap karyawan, akibat cashflow bisnis berkurang, minus atau bahkan menuju bangkrupt.

Terlebih lagi kemudian jika ditambah permasalahan sosial laiknya ego,iri dan lainnya hingga harus menghalalkan segala cara untuk menjatuhkan lawan bisnis. Atau kemungkinan lainnya dengan alasan dakwah, agama dan memberi pintu rezeki bagi orang lain misalnya. Bisnis dibuat menjadi besar berkembang hingga meluas di luar daerah yang itu justru membuat roda perputaran uang pada daerah  tersebut masuk pada kantong-kantong mereka.  Akibatnya, jumlah uang pada wilayah itu berkurang sehingga timbullah ketimpangan sosial atau tidak adanya pemerataan pendapatan.

Persaingan bisnis yang juga tidak ada ajarannya  dalam konsep ekonomi di UUD 1945 dengan segala tindak lanjutnya memberi sisi manfaat semisal terbukanya lapangan kerja dan adanya pendapatan daerah melalui pajak. Namun disisi lainnya justru memberi dampak negatif berupa ada penurunan keuntungan para pedangan kecil, hingga dapat mematikan lawan bisnis.  Kemajuan bisnis di suatu tempat atau daerah atau negara menghasilkan kemunduran di tempat/daerah/negara lain.Kita berusaha menutup lubang lama , namun menggali lubang yang baru, paradoks Ekonomi. Inilah kiranya  sedikit diambil oleh beberapa orang  sebagai jalan hidup.

Perpanjangan tangan dari persaingan hidup timbul Ketidakpastian Hidup. Satu hal tentang ketidakpastian ini mendorong manusia dirodikan untuk berebut benda bernama “Uang”. Aktivitas kerjanya menjadi tak kenal waktu. “Bekerja Bagai Kuda” ibarat orang-orang menempatkan sanepan pada aktivitas kegiatan itu. Hingga kadang makan, kesehatan serta perhatian terhadap diri juga keluarga pun luput dari aktivitas manusiawi yg seharusnya kita lakoni.

Pilihan pertama yg biasanya di lakukan untuk menangani Ketidakpastian Hidup adalah dengan mencari kerja yg pasti. Pegawai Negeri Sipillah yg lazimnya menjadi sasaran utama para pencari sesuap nasi. Lagi-lagi untuk memeroleh status ini maka kita perlu kembali melakukan ajang persaingan dengan caranya masing-masing. Mungkin kita akan berpikir seperti ini, pada prosesnya kita mengikuti seleksi untuk mendapatkan yg terbaik sesuai kapasitasnya.  Pernyataan ini tentu benar, namun bagi saya pribadi masih kurang detail analisis yang dibuat.

Mengapa demikian? Sebab ketika proses  seleksi dilakukan tentu ada beberapa orang yang memenuhi kualifikasi yang lulus. Namun tentunya ada juga yang terhambat pada satu proses tau lainnya atau belum lulus.  Bagi mereka yang belum memenuhi standar kelulusan berakibat pada jalan hidup menjadi tidak pasti. Nasib membentuk arah tanpa tujuan. Hingga tak jarang ada yang kemungkinan mengalami stres bahkan bunuh diri karena tidak punya kekuatan untuk menghadapi kenyataan seperti ini. Bayangkan misalnya, jika mereka yang tidak lulus pada jalur PNS tersebut, nasibnya juga mendapat jaminan oleh negara dengan status yg sama yakni PNS dalam arti gaji pokok tetap/pasti,  dengan model pekerjaan yg berbeda, semisal petani, nelayan, pedagang, dan segala pekerjaan lainnya, maka apa yg bisa kita bayangkan?  Tentu tidak ada kemiskinan yang terjadi dan rakyat menjadi sejahtera.

Ketidakpastian hidup pun kadang melanda mereka yang baru menyelesaikan perkuliahan. Menempuh kuliah selama bertahun-tahun,  namun setelahnya bingung untuk  mencari dan mendapatkan pekerjaan. Apalagi kualifikasi bagi Fresh Graduate kadang begitu berat, semisal mereka wajib  memiliki skill khusus hingga persaingan yang ketat. Bahkan tak jarang kita temukan, mereka yang kuliah di jurusan kesehatan atau keguruan pasca kuliah,  bekerja menjadi kuli bangunan,  pekerja berat atau sejenisnya. Tidak ada korelasi antara kuliah yang dulu di tempuh, dengan pekerjaan yang di kini dijalani. Jika demikian lantas apa gunanya kemudian kuliah yang pada akhirnya nasib tidak menjadi  pasti? Begitulah kiranya sebagian orang berpikir pasca kuliah dituntaskan. Meski saya juga mengakui ada beberapa diantaranya mereka yang mendapati korelasi itu sesuai dengan yang di harapkan. Namun, ketika kita membuat persentasi statistiknya manakah yg lebih mendominasi? Mungkin satu waktu hal ini perlu kita bedah atau kaji lebih jauh.

Pilihan kedua, kemungkinan dilakukan bagi para pencari pundi-pundi kehidupan pada kondisi tersebut adalah memperbaiki kualitas diri untuk dapat menaikkan pamor dan nama sesuai dengan caranya masing-masing tak terkecuali kemungkinan jalan jahat yang ditempuh,  selama mampu menggaet keping demi keping rupiah. Ujung dari cara ini pasti memiliki keterkaitan dengan tingkatan posisi pada lingkungan kerja. Level posisi pada struktur organisasi kantor menunjukan seberapa besar tanggungjawab terutama “Gaji/Uang” yang diperoleh. Inilah salah satu cara yang umumnya dilakukan ketika kita tidak mampu lulus dalam lingkaran pegawai negeri sipil atau pekerjaan lainnya yang memiliki gaji tanggungan oleh pemerintah .

Meski dalam lingkaran pegawai pun ada kemungkinan memiliki pola yang sama seperti di atas.  Menargetkan posisi tertentu agar mampu mencapai lumbung  rupiah. Dalam kondisi keterbatasan dan persaingan hidup tentu hal ini menjadi sangat wajar dilakukan. Terlebih lagi kalau kita mempunyai tanggungan utang. Terutama adalah ingin memberikan kebahagiaan juga ketenangan hidup bagi anak-istri, mertua dan orang tua. Karena sejatinya memang saya melihat kebahagiaan dapat terukur pada seberapa banyak “Uang” yang kita Kantongi. Itulah manusia, makhluk materi dan unmateri. Meski saya yakin ada yang berbeda pandang soal ini.

Setelah dua hal di atas telah berada di atas angin, maka jalan yang ditempuh selanjutnya adalah investasi masa depan. Investasi dapat dilakukan dengan beragam model. Dan setiap orang punya cara yg berbeda untuk melakukannya. Umumnya dengan menyicil tanah, usaha produktif, turut ikut dalam kerjasama bisnis tak terkecuali perbankan atau sejenisnya. Tentu investasi tersebut dapat dilakukan teruntuk mereka yang mempunyai kuantitas keuangan yang besar. Mengapa hal ini dilakukan bagi mereka yang meski secara finansial sudah mencukupi? Lagi-lagi jawabannya adalah pada putaran uang yg tidak menentu serta ketidapastian hidup yang mana kita tidak mampu menebak kemana arahnya dan nahkodanya.

Akhirnya setiap kita, akan  mengamankan uangnya masing-masing dalam bentuk aset berupa investasi di atas. Lantas bagaimana dengan mereka yang memiliki gaji pas-pasan atau bahkan makan sehari-hari saja masih mengaish-ngaish sampah pinggiran ??? Memikul sebakul sayur keliling atau menjaja diri setiap harinya?? Bingung hari ini anak-istri mau makan apa saja masih susah untuk di taklukan apalagi berpikir untuk investasi masa depan??

Sisi lain yang memungkinkan untuk mengamankan, memperbesar nilai asset/ investasi jangka panjang atau membuka benih baru lahirnya rupiah adalah melalui jalur politik. Meski ada sebagian alasan yang mendasari masuk pada wilayah ini untuk memberikan pengabdian kepada daerah, membantu rakyat yang dalam keadaan susah, menyuarakan solusi pada problem hidup mereka,  hingga segudang reason yang digunakan, namun saya pribadi  sedikit berpandangan bahwa hal ini juga menjadi kemungkinan jalan untuk mengisi kekosongan dapur atau memperbanyak isi dapur. Tentunya saya tidak berlepas diri untuk selalu  berpikir positif bahwa ada niat yang tulus bagi mereka yang memilih jalur ini, ikhlas menghibahkan dirinya untuk perbaikan di masyarakat.

Besaran gaji yang diperoleh oleh mereka yang membuka pintu rumah politik hingga duduk didalamnya tentu memiliki nilai yang cukup besar untuk sedikit membantu mengisi hingga menaikkan saldo rekening. Ditambah lagi kebijakan yang dibuat berputar pada lingkaran tim atau adanya aktor super kaya yang memegang kartu as politik dibaliknya.  Ada kemungkinan tujuannya adalah  untuk mengunci rapat kepingan koin pada brankas-brankas rumah politiknya. Pola yang satu ini tentunya memiliki  probabilitas yang besar untuk sering ditempuh sebagai penjara terbaik dalam membuat kapital selalu berada pada garis edar yang diinginkan.

Bagi saya pribadi tidak terlalu tertarik untuk mengejar pilihan-pilihan hidup tersebut, sebab dalam pandangan saya menyadari dua hal bahwa  “Jumlah uang yg kita peroleh saat ini berefek pada nasib atau hidup orang lain”. Saat kita menikmati banyaknya pundi-pundi rupiah yg kita koleksi, bersamaan saat itu juga disisi kehidupan lainnya ada segelintir manusia yg tidak bisa makan atau bahkan mati kelaparan. Sadar atau tidak sadar hal itulah yang tengah terjadi dalam sistem hidup saat ini akibat keterbatasan keuangan dan persaingan hidup satu paket ketidakpastian hidup. People follow the Money.

*Kita bisa terlahir dan hidup  dari keluarga apapun itu, tapi memilih mati seperti apa dan sebagai apa, adalah jalan yang  harus kita tentukan, mati sebagai manusia biasa atau sosok yg bermanfaat dan dikenang sepanjang sejarah*.

 

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.